Menjadi manusia, berarti kita harus berlayar mengarungi hidup yang bergelombang. Naik-turun, diatas-dibawah, bahagia-menderita. Tentu saja hidup akan terlihat lebih mudah, saat kita berada diatas. Rasanya seperti berkuasa, penuh semangat dan ringan. Namun nyatanya, hidup tak selalu semudah itu. Kadang, kita terlalu membara bangga. Sampai suatu saat, ketika badai menyapu apa-apa yang telah kita perjuangkan tanpa angkuh, kita tidak memiliki apa-apa lagi yang tersisa. Sedih. tentu saja, merasa hidup ini tidak adil. kehilangan diri sendiri. berfikir bahwa hidup ini tak berguna. menyalahkan Tuhan atas takdir digarisnya. bahkan, mati menjadi sesuatu hal yang mudah terbesit di pikiran. seolah-olah itulah jalan keluar yang damai, tenang, hanya ada kegelapan dan ending. mungkin saat masa-masa itu menimpa, kita hanya perlu diingatkan, bahwa kita berharga, kita tak pantas menyakiti diri sendiri, bahwa masih ada matahari yang masih terbit, masih ada kesempatan untuk mencoba dan memulai lagi. karena kita menjadi pelupa saat terjatuh. kita lupa hangatnya matahari saat semuanya gelap dan dingin. kita lupa bahwa suatu saat badai akan mereda. kita lupa bahwa kita pernah bahagia dan kita bisa bahagia lagi, Tak apa jatuh, tak apa gagal, kita hanya perlu diingatkan bahwa semua ini akan berlalu jika kita bertahan 

Semangat Mahasiswa Akhir ❤️

kalo kata Helvy Tiana Rosa, seorang sastrawan Indonesia. kemanusiaan itu tidak mengenal batas negara dan agama. ia tumbuh dari keajaiban nurani yang tanpa sekat, tanpa musim. kita mengenal dengan istilah humanusme universal, istilah yang mulai tumbuh tatkala HAM dipandang sebagai urgental dalam menghadapi dunia yang semakin tidak bersahabat.

benar saja, kemanusiaan tidak lahir dari diskusi-diskusi diatas meja makan, bertabur racikan kopi dan berbatang lisong dengan harga selangit, lalu berbicara konsepsi dan kesepakatan-kesepakatan.

kemanusiaan ada di hati nurani manusia itu sendiri. hati nurani yang senantiasa menunjukkan jalan illahiah kebenaran hakiki bagi setiap insan dibumi. jika kita berkemanusiaan, maka kita akan melihat nurani yang meringis tatkala menatap tragedi kemanusiaan hadir diantara jeram kehidupan manusia terpejam dilorong senja gedung tua, beratap langit dan beralas bumi. 

Besar ekspetasi masyarakat terhadap santri,, apa yang bereka lihat pada diri kita, itulah yang masyarakat lihat dari seorang santri. Kiayi kami selalu bilang "Jadilah santri yang baik dan memperbaiki" Jika tidak mencapai tahap memperbaiki, setidaknya jangan merusak, jangan melegalkan kemaksiatan dengan alasan kecerdasan intelektualmu, jangan memaklumi dan membenarkan kemunkaran dengan alasan-asalan empirismu.